Jumat, 09 Juli 2010

PRINSIP ISLAM DALAM BERHUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH



إن الحمدلله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذبالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له.
وأشهد أن لاإله إلا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

أما بعد :
فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد j وشر الأمورمحدثاتُها
وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

Ketahuilah semoga Allah  memberi hidayah kita semua ke jalan yang benar, bahwa prinsip mendasar lagi agung yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam dalam beragama adalah kembali kepada bimbingan Allah dan bimbingan Rasulullah serta memahaminya dengan pemahaman generasi terbaik umat ini dari kalangan para Shahabat , para tabi'in dan atba'ut tabi'in baik itu dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, mu'amalah dan semua aspek kehidupan, duniawiyah ataupun ukhrowiyah. Prinsip inilah yang menghantarkan umat manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yang dengannya pula umat manusia akan selamat dari penyimpangan aqidah dan dekadensi (kerusakan) akhlaq.

Banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam yang shahih serta ucapan-ucapan para ulama yang menjelaskan prinsip di atas. Berikut ini akan kami paparkan prinsip di atas agar kita semua kaum muslimin memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingat, bahwa prinsip ini berlaku untuk segenap kaum muslimin dari golongan manapun, kelompok manapun, baik dia sebagai pemerintah ataupun rakyat jelata, kapanpun dan dimanapun dia berada.




PASAL I

Kewajiban kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah dalam beragama

Berikut ini ayat-ayat yang menjelaskan masalah di atas, di antaranya :
Allah  berfirman :

Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (QS. Al An'am : 106)

Dan FirmanNya pula :

Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al An'am : 153)

Dan FirmanNya pula :

Dan Al-Quran itu adalah Kitab yang kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. (QS. Al An'am : 155)

Dan FirmanNya pula :

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya( ). amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. Al A'raaf : 3)

Dan FirmanNya pula :

Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS. Al A'raaf : 158)

Dan FirmanNya pula :


Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. (QS. Yunus :158)

Dan FirmanNya pula :

Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ".(QS. Al Ahzaab 2)

Dan FirmanNya pula :

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, (QS.Az Zumar : 55)

Dan FirmanNya pula :

Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS.Al Jatsiyah : 18)

Dalam ayat yang lainnya Allah ta'la menjadikan sikap mengikuti Rasulullah  sebagai bukti kecintaan seseorang kepada-Nya dan sebagai sebab mendapatkan maghfiroh (ampunan) dari-Nya, Allah ta'la menyatakan :

Katakanlah: "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Di ayat yang lain Allah ta'la memerintahkan segenap kaum muslimin untuk kembali kepada bimbingan Allah ta'la dan Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam di saat terjadi perselisihan dan perbedaan pemahaman di kalangan mereka dalam semua perkara kehidupan mereka, dan ini sebagai bukti keimanan kepada Allah ta'la dan hari akhir serta sebagai solusi terbaik di masa sekarang dan akan datang. Allah ta'la berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisaa' : 59)

Inilah sikap dan prinsip yang harus ditunjukkan oleh setiap muslim yakni mendengar dan menta'ati bimbingan Allah  dan Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam, Allah ta'la berfirman:

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An Nuur : 51)

Allah ta'la juga berfirman :

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS. Al Ahzab : 36)

Ayat yang paling jelas dan gamblang menjelaskan prinsip ini adalah
Firman Allah ta'la

Apa-apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7)

Ayat di atas diuraikan dengan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam

مَانَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ
Artinya " Apa saja yang aku melarang kalian daripadanya maka jauhilah dan apa saja yang aku memerintahkan kepada kalian untuk melaksanakannya maka kerjakanlah semampu kalian." (HR. Bukhary 13/251 – Fath dan Muslim 1337 dari Abu Huroiroh radliallahu anhu)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al Qur'an yang dengan jelas dan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk mengikuti bimbingan Al Qur'an dan Sunnah (ajaran) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam, menjadikan keduanya sebagai ideologi dan barometer dalam menjalani kehidupan dunia menuju alam akhirat yang kekal abadi
.
Belum lagi ayat-ayat yang mewajibkan kaum muslimin untuk menta'ati Allah dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam yang itu merupakan bukti kejujuran seseorang dalam berupaya kembali dan mengikuti bimbingan Allah ta'ala dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam.Ayat yang berbicara tentang masalah ini, jumlahnya tidak hanya satu, dua ayat namun puluhan, bahkan Al Imam Abu Bakr Muhammad bin Al Husein Al Ajurry yang wafat tahun 360 H. salah satu seorang imam besar madzhab Syafi'iyah pada zamannya menyebutkan ayat tentang masalah ini mencapai lebih dari 30 ayat di dalam Al Qur'an, periksa kitab Beliau " Asy Syari'ah " halaman 395 cetakan Darul Bashiroh Iskandariyah Mesir tanpa tahun

Ini semua menunjukkan dengan gamblang bahwa masalah ini adalah prinsip mendasar yang harus diyakini dan diamalkan oleh setiap muslim, adapun Hadits-hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam yang menjelaskan kewajiban kembali kepada bimbingan Allah ta'ala dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam sangatlah banyak. Berikut ini akan kita bawakan beberapa di antaranya agar kita semua semakin yakin dan mantap akan kebenaran prinsip ini.

Dari Abu Huroiroh, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda :

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوْا: وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى

"Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan, para Shahabat bertanya : 'Siapakah gerangan yang enggan itu ?' jawab Beliau, orang yang ta'at kepadaku dia masuk surga dan yang durhaka kepadaku maka sungguh dialah orang yang enggan itu." (HR. Bukhary 7280)

Dari Abu Huroiroh radliallahu'anhu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تُضلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِي
"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang dengannya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Al Hakim 1/93 dan Beliau menshahihkannya) Hadits ini memiliki banyak penguat.

Dari Irbadl bin Sariyah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ

"Barangsiapa di antara kalian yang hidup nanti maka dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing sepeninggalku, pegangilah sunnahku dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian." (HR. Abu Dawud 4607, At Tirmidzy 2676, Ibnu Majah 440 dan Ahmad 4/126 dengan sanad yang shahih)

Dan masih banyak lagi hadits yang menjelaskan prinsip mulia nan agung ini, Wallahul Muwaffiq.

Untuk melengkapi pembahasan ini dan semakin menjelaskan prinsip ini akan kita bawakan penjelasan ulama-ulama besar pada masa Shahabat dan generasi yang setelahnya yang semuanya mewajibkan kaum muslimin berpengang teguh dengan prinsip yang mulia ini, di antaranya :

Ubay bin Ka'ab berkata, " Ikutilah oleh kalian sunnah Rasulullah dan janganlah kalian membikin kebid'ahan….."
(Riwayat Muhammad bin Nasher Al Marwazy dalam As Sunnah (28) dan Ibnu Wadldloh dalam Al Bida' (17)

Az Zuhry berkata, "Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan" (riwayat Al Lalikaiy 15)

Abul Aliyah berkata, "Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnah nabi kalian dan apa yang dijalani oleh para Shahabat ". (riwayat Abdur Rozzaq dalam Al Mushonnaf 20758, Al Marwazy dalam Sunnah 8 dan Lalikaiy 17)

Al Auza'iy t berkata, "Kita berjalan bersama dengan Sunnah kemanapun dia berjalan." (riwayat Al Lalikaiy 47)

PASAL II

ANCAMAN KERAS
BAGI SIAPA SAJA YANG MENENTANG DAN MENYELISIHI
SUNNAH RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wa salam


Di antara argumentasi yang tegas dan akurat untuk menunjukkan kewajiban kembali kepada bimbingan Allah dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam adalah adanya larangan dan ancaman keras bagi siapa saja yang berani menentang dan menyelisihi prinsip yang mulia ini. Ada beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan permasalahan ini, berikut ini penjabarannya.
Allah ta'ala berfirman ;

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur 63)

Kalimat (perintahNya) dalam ayat di atas ada sebagian ahli tafsir yang mengatakan : ‘Yang dimaksud adalah perintah Nabi dan adalagi yang mengatakan perintah Allah , kedua pendapat ini tidak bertentangan sebab yang memerintah pada hakikatnya adalah Allah ta'ala sementara Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam sebagai muballigh-Nya.
Dalam ayat yang mulia di atas Allah mengancam siapa saja yang menyelisihi perintahNya atau perintah RasulNya atau perintah keduaNya dengan dua jenis hukuman yang keras, yang satu hukuman dunia dan yang lainnya adalah hukuman akhirat :

1. Ditimpa fitnah didunia
- Para ulama menjelaskan maksud fitnah dalam ayat ini dengan uraian yang beragam :
Fitnah adalah pembunuhan
Fitnah adalah Gempa
Fitnah adalah berkuasanya penguasa bengis dan kejam memimpin rakyat
Fitnah adalah hati mereka akan tertutup dari kebenaran
Semua makna di atas bisa dipakai untuk menjelaskan maksud fitnah sebab lafadh fitnah pada ayat di atas bersifat umum.

- Dengan penafsiran di atas jelas menunjukkan bahwa di antara akibat menentang sunnah adalah maraknya pembunuhan dengan berbagai macam modus, seringnya terjadi bencana alam seperti gempa, banjir, longsor, tsunami dan lain sebagainya. Masyarakat menjadi buta mata hatinya tanpa melihat lagi sisi kebenarannya secara syar'i dan juga Allah akan menguasakan atas mereka para pemimpin-pemimpin yang jahat, sadis, kejam, bengis, tidak ada rasa kasih pada rakyatnya dan segala macam perangai jahat seorang penguasa.

- Sungguh sangat mengerikan hukuman duniawi ini sebagai akibat dari perbuatan menentang sunnah Rasulullah  apalagi hukuman di akhirat nanti.
2. Ditimpa adzab yang pedih di akhirat.
Ini semua menujukkan kewajiban kembali kepada sunnah Rasulullah jdan keharaman menyelisihi dan menentangnya.
- Lihat uraian tentang ayat di atas dalam tafsir Fathul Qodir karya Imam Asy Syaukany 4/79 cetakan 2 Darul Wafa' Al Manshuroh Mesir Th. 1997 M.
- Allah juga berfirman :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An Nisaa' : 115)

Dalam ayat yang mulia ini ada ancaman yang tegas bagi orang-orang yang menentang Rasulullah  setelah dia tahu bahwa apa yang Beliau bawa adalah al Haq, ada dua ancaman dalam ayat ini :
Di dunia yaitu Allah akan menyimpangkan dia kemana saja yang dia inginkan oleh selera hawa nafsunya
Di akhirat yaitu Allah akan memasukkan dia kedalam neraka Jahannam sebagai tempat kembalinya yang sangat hina dina dan mengerikan. Wallahul Musta'an

- Allah berfirman :

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu Hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An Nisaa' : 65)

Ayat yang mulia ini juga secara tegas menunjukkan bahwa Allah meniadakan keimanan dari seseorang hingga dia menjadikan Rasulullah j sebagai Hakim yang memutuskan semua permasalahannya, lalu dia patuh, tunduk dan menerima keputusan Beliau dengan lapang dada dan penuh suka cita.

Maka siapa saja yang tidak memiliki prinsip di atas maka dia akan terancam keimanannya, bisa berkurang atau bahkan bisa pupus tergantung dari tingkatan penentangan dia terhadap sunnah Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam

Wallahul Musta'an

Begitu pula dalam hadits-hadits yang shahih banyak terdapat ancaman dan hukuman bagi para penentang dan yang menyimpang dari prinsip agama yang mulia ini
.
Penjelasan para ulama di setiap generasi dari mulai masa shahabat sampai masa para imam besar semisal, Imam Malik, Asy Syafi'ie, Ahmad dan lain-lain. Juga sama dengan yang dijelaskan dalam Al Qur'an dan As Sunnah.

Ringkas kata Al Imam Al Lalikaiy Hibatullah bin Al Hasan (wafat th. 418) dalam karya besarnya Sarah Ushul I'tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Juz I/22 cetakan Dar Thoyyibah tanpa tahun menyatakan : "…. Maka kami tidak mendapat dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan penjelasan para Shahabat melainkan ajakan (anjuran) untuk ittiba' (mengikuti sunnah) dan larangan memberat-beratkan diri dan kebid'ahan…"





PASAL III

KEHARUSAN KEMBALI KEPADA
PEMAHAMAN GENERASI TERBAIK UMAT INI


Ketahuilah! Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua bahwa Al Qur'an dan Sunnah tidak boleh dipahami sesuai selera hawa nafsu kita atau kepentingan, perasaan dan adat istiadat kita.
Al Qur'an dan Sunnah haruslah dipahami dengan pemahaman orang yang tahu seluk beluk keduanya, dan mereka adalah generasi terbaik umat ini dari kalangan para shahabat, para tabi'in dan atba'ut tabi'in serta para imam besar yang diakui keilmuannya oleh kaum muslimin yang sejalan dengan langkah yang ditempuh oleh para pendahulunya.

Banyak dalil yang menjelaskan tentang keharaman berbicara dalam perkara agama tanpa ilmu, di antaranya adalah Firman Allah

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya." (QS. Al Israa' : 36)

Allah juga berfirman, menjelaskan tentang hal-hal yang diharamkannya dimulai yang paling ringan dosanya dan diakhiri dengan yang paling berat.

"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al A'raaf : 33)

Dalam ayat ini Allah jadikan tindakan berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu sebagai dosa diurutkan terakhir yang itu menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah dosa terberat, bahkan dalam ayat di atas tindakan tersebut disebutkan setelah dosa kesyirikan kepada Allah
.
Dengan dasar ayat ini para ulama menyatakan bahwa berbicara tentang agama tanpa ilmu dosanya lebih besar daripada kesyirikan dari sisi kalau kesyirikan pada umumnya hanya berhubungan dengan pelakunya saja, sedangkan berbicara tanpa ilmu dampaknya meluas mengenai segenap kaum muslimin yang terpengaruh dengannya.

Oleh karena itu berbicara tentang agama ini, memahami ayat dan hadits Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam haruslah diserahkan kepada ahlinya yang mengerti betul maksudnya, dan mereka itu adalah generasi terbaik umat ini! Berikut ini argument yang kuat yang mengharuskan kita meruju' kepada pemahaman mereka ;

1. Mereka adalah generasi yang disanjung dan dipuji oleh Allah dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam , Allah berfirman :

" Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga - Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. At Taubah : 100)

2. Mereka itulah generasi pertama yang dimaksud dengan "sebaik-baik umat" adapun yang setelah mereka maka akan mendapat predikat ini bila sejalan dengan mereka, Allah berfirman :

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imron 110)

3. Mereka adalah generasi terbaik umat ini dengan persaksian Rasulullah j dalam sabdanya ;

خَيْرَ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ


"Sebaik-baik orang adalah generasiku (shahabat) kemudian setelah mereka (tabi'in)dan kemudian setelah mereka (tabi'ut tabi'in)."

4. Al Imam Al Hafidz Al Hasan Al Basri menguraikan sifat kemuliaan mereka dengan perkataanya :
"Sesunguhnya mereka (shahabat) adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini dan yang paling dalam umurnya dan paling jarang bersifat memberat-berakan diri. Mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi"
Lalu beliau menasehatkan :
"Hendaklah kalian mencontoh akhlaq dan jalan hidup yang mereka tempuh sebab mereka itu demi Allah Rabbnya Ka'bah sungguh di atas bimbingan yang lurus" (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Al Jami' 2/97 lihat Dzamnut Takwil halaman 39)

5. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu. Mereka tahu kapan turunnya (ayat) di mana turunnya dan tentang apa diturunkannya serta bagaimana kronologinya.

6. Mereka adalah orang-orang yang mendengar langsung sabda-sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam dan menyaksikan langsung amaliah dan kehidupan Beliau Shalallahu 'alaihi wa salam

7. Kita semua tahu bahwa Al Qur'an dan Sunnah menggunakan bahasa Arab yang jelas sedang mereka adalah suku Arab yang pada masa itu telah mencapai puncak kefasihan sastra Arab. Al Qur'an turun dengan bahasa mereka dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam dari kalangan mereka dan bersabda dengan bahasa mereka.

8. Mereka adalah orang-orang yang langsung dididik (digembleng) oleh Rasulullah  sehingga kalaupun ada hal-hal rumit yang tidak mereka fahami di tengah-tengah mereka maka ada seorang Rasul yang menjelaskan dan menguraikannya.

Dan masih banyak lagi argumentsi lainnya bahkan ada 46 argumentasi dalam masalah ini sebagaimana yang dijabarkan oleh Imam besar Madzhab Hambali pada masanya, yaitu Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam karya besarnya " I'lammul Muwaqqi'in " Juz 4/99 – 126 cet. 3 Darul Hadits Mesir th. 1997 M. / 1417 H.





PASAL IV

PRINSIP ISLAM
DALAM BERHUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH


Bila prinsip yang mulia di atas dapat dipahami dengan baik maka pembicaraan tentang masalah yang berhubungan dengan penguasa atau pemerintahpun harus selalu dalam koridor prinsip tadi, tidak bisa dengan semata-mata semangat kebangsaan dan jiwa patriotis apalagi dengan selera hawa nafsu untuk memuaskan ambisi kekuasaan.
Berikut ini akan kita ulas prinsip besar yang diajarkan di dalam Islam sehubungan dengan muamalah terhadap pemerintah supaya kita semua hidup berjalan di atas bimbingan ilmu dan dalam naungan sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam .
Ketahuilah! Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua bahwa Islam memerintahkan segenap kaum Muslimin untuk mendengar dan menta'ati penguasa mereka yang muslim. Hal ini termaktub dengan jelas di dalam Al Qur'an dan Sunnah serta penjelasan para ulama. Allah berfirman

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kalian." (QS. An Nisaa' : 59)

Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para umaro' (para penguasa) dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dahulu maupun sekarang, baik dari pakar hadits, ahli tafsir atau imam fiqh. Sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 12/223.
Keta'atan kepada penguasa muslim adalah kewajiban setiap Muslim di manapun dia berada dari manapun asal dan apapun statusnya. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda :

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ

"Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan ta'at dalam perkara yang disukai atau yang dia benci…" (Muttafaqun 'Alaih dari Ibnu Umar )

Keta'atan pada penguasa, berlaku untuk semua jenis penguasa muslim bagaimanapun keadaannya, baik itu adil atau dholim, dari bangsa budak atapun merdeka, baik fisiknya bagus atau rusak.
Dari Ady bin Hatim beliau bertanya : "Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam ! kami tidak bertanya tentang keta'atatan kepada penguasa yang bertaqwa, namun penguasa yang berbuat begini dan begitu, lalu beliau menyebutkan kejelekan?" Jawab Beliau Shalallahu 'alaihi wa salam : "Bertakwalah kalian kepada Allah , dengarkan dan ta'atilah dia!!" (HR. Ibnu Abi Ashim dalam 'As Sunnah' [1069])

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam juga bersabda :
إِنْ أُمِرَعَلَيْكُمْ عَبْدٌحَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا مَاقَادَكُمْ بِكِتَابِ اللهِ

"Walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Habasyah (Ethiopia) yang terpotong kedua telinganya, maka dengarkan dan ta'atilah dia, selama dia membimbing kalian dengan Kitabullah." (HR. Ibnu Abi Ashim dalam 'As Sunnah' [1063])

Bahkan penguasa yang bengis seperti perangai syaithon dengan sistem pemerintahannya yang tidak islami sekalipun, tetap diwajibkan mendengar dan menta'atinya selama dia masih Muslim. Hal ini terekam dalam hadits Hudzaifah bin Al Yaman riwayat Muslim (1847-52), Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda :

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةُ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ أَوْ سَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ في جُسْمَانِ إِنْس قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَارَسُوْلَ اللهِ ! إِنْ أَدْرَكْتُ ذلِكَ ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

"Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin, mereka tidak terbimbing dengan petunjukku dan tidak menjadikan sunnahku sebagai pedomannya dan akan muncul pada mereka orang-orang yang hatinya (seperti) hati syaithon dalam jasad manusia" saya bertanya " 'Wahai Rasulullah, apa yang harus aku perbuat bila aku mendapati hal itu?' jawab Beliau Shalallahu 'alaihi wa salam : "Engkau mendengar dan menta'ati sang penguasa walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas, dengarkanlah dan ta'atilah…!"

Demikianlah dengan jelas dan gamblang, prinsip ini diuraikan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam , sehingga tidak ada yang samar dalam bab ini, untuk itulah para ulama kita dahulu sampai sekarang bersepakat untuk mendengar dan ta'at kepada penguasa yang muslim.
Yang juga perlu diingat adalah bahwa keta'atan kepada penguasa itu berlaku untuk setiap penguasa muslim yang sah, baik diangkat dengan cara yang sesuai syar'i yaitu penunjukan dari penguasa sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar a ketika menunjuk Umar ataupun dengan kesepakatan Ahlul Halli Wal Aqdi seperti pengangkatan Utsman maupun dengan cara yang melanggar syar'i seperti denan kudeta militer atau semisalnya, hal ini dengan kesepakatan para ahli fiqh sebagaimana yang dinukil oleh Imam besar Madzhab Safi'iyah pada masanya yaitu Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolany . Beliau berkata menukil ucapan Ibnu Baththol :

" Para ahli fiqh telah sepakat tentang kewajiban menta'ati penguasa yang berkuasa dengan kudeta dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya keta'atan kepadanya lebih baik dari pada memberontak kepadanya sebab dengan itu akan terjaga darah (kaum muslimin) dan keadaan akan kondusif." (Fathul Baary 14/496, Cet I, Daarul Fikr-Lebanon-Beirut-th. 1995 M/1415 H.)

Yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah bahwa penguasa yang harus dita'ati adalah bukan hanya penguasa tunggal yang menguasai kaum muslimin seluruh dunia, Tapi juga penguasa Muslim yang menguasai wilayah - wilayah kaum Muslimin seperti sekarang ini, sebab kaum Muslimin belum lagi punya khalifah akbar semenjak pertengahan daulah Abbasiyah, demikian yang diuraikan oleh Ash Shon'any dalam 'Subulus Salam' (3/486-487 cet. I Darul Fikr-Beirut-th. 1991 M/1411 H.)

Keta'atan ini berlaku untuk para penguasa Muslim apapun namanya baik itu Presiden, Perdana Menteri, Raja, Sulthan atau yang lain, bahkan juga kepada jajaran pemerintah militer atau sipil dari pusat hingga tingkat desa, demikin yang dijelaskan oleh Syaikh Ibnul Utsaimin dalam 'Syarah Aqidah Safariniyah' hal 670 cet. Darul Bashiroh-Iskandariyah-Mesir tanpa tahun.

Bila hal di atas telah dipahami, maka ketauhilah! Semoga Allah merahmati kita bahwa keta'atan kepada penguasa muslim tidaklah secara mutlaq namun berkait dengan suatu ketentuan yaitu "selama tidak bermaksiat kepada Allah "

Bila ada unsur kemaksiatan, maka tidak boleh didengarkan dan dita'ati, hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam dalam sabdanya :

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أُمِرَ ِبمَعْصِيَّةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

"Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan ta'at dalam perkara yang dia suka dan dia benci kecuali bila diperintah dengan kemaksiatan, bila diperintah demikian maka tidak didengarkan dan dita'ati." (Muttafaq 'Alaih dari Ibnu Umar )

Dalam hadits Ali bin Abi Tholib riwayat Al Bukhari (7145), Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam menegaskan :
إِنَّمَا الطَّاعَةُ في الْمَعْرُوْفِ
"Sesungguhnya keta'atan itu hanya dalam perkara kebaikan."

Namun bukan berarti diperbolehkan untuk memberontak dan melepaskan keta'atan, banyak hadits yang melarang pemberontakan, ringkasnya apa yang diuraikan oleh Imam Harb Al Karmany dalam 'Al Aqidah' yang dia nukil dari seluruh ulama terdahulu :

"Bila sang penguasa memerintahkan sesuatu yang ada unsur kemaksiatan kepada Allah maka engkau tidak boleh menta'atinya dan juga tidak boleh memberontaknya dan menghalangi haknya." (Lihat Aqidah Ahlul Islam hal. 20 karya Abdussalam Barjis)

Dengan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa perintah atau himbauan pemerintah terbagi menjadi beberapa bagian :

1. Perintah tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam , maka wajib untuk dita'ati.

2. Perintah tersebut dalam perkara duniawi untuk kemaslahatan umum yang tidak ada unsur kemaksiatan padanya, maka wajib dita'ati, seperti rambu-rambu lalu lintas, memakai helm, sabuk pengaman dan sebagainya.

3. Perintah tersebut ada unsur kemaksiatan kepada Allah , maka tidak dita'ati. Demikian ringkasan penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin sebagaimana dalam fatawa syar'iyah hal. 83-85. Wallahul Muwaffiq

Maka dengan dasar prinsip di atas dan semata-mata ikhlas mengharap ridlo Allah k bukan karena tendensi tertentu, bukan pula karena kepentingan pribadi ataupun golongan, kami menyatakan :
1. NKRI adalah Negara berdaulat sebagai Negara tempat mayoritas kaum muslim berdomisili.
2. Bapak President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil President Yusuf Kalla adalah pemimpin Negara yang sah, harus didengar dan dita'ati dalam rangka ta'at kepada Allah
3. Mendukung program / perintah / himbauan Pemerintah yang bersifat positif sesuai dengan bimbingan Allah dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam
4. Dengan ucapan maaf beribu maaf yang sebesar-besarnya, kita tidak bisa menta'ati perintah / himbauan Pemerintah yang bertentangan dengan ketentuan syariat bukan karena kita anti pemerintah bukan pula karena hendak memberontak namun semata-mata karena prinsip islam yang harus kita pegangi dan kita dahulukan di atas segala-galanya.
Seorang Muslim yang ta'at dan baik, tentu akan mendahulukan perintah pencipta-Nya dan Rasul-Nya dari pada perintah manusia manapun.
Apalagi Allah menegaskan hal ini dalam firmanNya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui]

5. Justru ketidaktaatan seorang muslim kepada pemerintahnya di saat dia diperintah untuk bermaksiat adalah bukti kecintaan dia kepada pemerintah tersebut, dia tidak mau penguasanya menanggung dosa sekian banyak rakyatnya akibat kemaksiatan tadi. Semua orang yang berakal akan memahami masalah ini, sama halnya dengan seorang bapak yang memukul atau menasehati anaknya ketika dia nakal, bukan berarti bapak tersebut tidak cinta kepada anaknya, namun justru tindakannya tadi sebagai bukti kecintaannya kepada sang anak, kalau sang bapak tersebut tidak cinta lagi sama sang anak, maka dia tidak akan menggubrisnya dan membiarkannya sesuai keinginannya. Wallahul Muwafiq
Dalam kesempatan ini ada beberapa perkara yang perlu kita angkat ke permukaan untuk diketahui dengan jelas, bahwa seorang muslim tidak bisa mentaati penguasanya. Dalam hal tersebut, semoga dapat dimaklumi oleh pemerintah NKRI

I. Perayaan Ulang Tahun hari besar terkhusus HUT RI

Sesuatu acara yang berulang-berulang tiap bulan atau tahun disertai serangkaian amalan dan perkumpulan orang yang dalam Islam disebut dengan 'Ied (hari raya).
Dalam prespektif islam, 'ied adalah suatu amalan yang bernilai ibadah, padanya disyaria'atkan serangkaian amalan ibadah untuk bertaqarrub kepada Allah k sekaligus ada serangkaian untuk melakukan hal-hal yang mubah (boleh).
Dalam realita ajaran islam, 'ied ditetapkan setelah melakukan ibadah-ibadah besar, 'Iedul Fitri ditetapkan setelah ibadah puasa Ramadhan, 'Iedul Adha adalah setelah dan ditengah-tengah ibadah haji.
Bukti bahwa 'ied adalah kegiatan ibadah yang tidak dapat keluar dari koridor syar'i.adalah bahwa kita semua tahu, dalam islam hanya ada 2 'ied dalam setahun yaitu 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha, hal ini dijelaskan dengan gamblang dalam hadits Anas bin Malik a Beliau berkata :
"Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam datang dalam keadaan penduduk Madinah memiliki 2 hari yang mereka biasa bermain-main padanya di masa Jahiliyah (yaitu hari Nairuz dan Mahrojan, pent.), Beliau bersabda :

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا في الجَاهلِيِّةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ الله ُبِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النًّحْرِوَيَوْمَ الفِتْرِ

"Saya datang kepada kalian, sedang kalian punya 2 hari yang kalian biasa bermain-main padanya di masa jahiliyah, sungguh Allah k telah mengganti kedua hari itu dengan 2 hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari Nahr (Adha) dan hari Fitri." (HR. Ahmad 3/103,178,253, Abu Dawud 1134 dan An Nasaa'I 3/179 dengan sanad Shahih)
Perhatikanlah hadits di atas, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam mengganti perayaan penduduk madinah dengan 2 hari raya besar Islam, karena :
1. Perayaan mereka itu menyerupai 'iednya bangsa Romawi dan Persia, sebab hari Nairuz dan Mahrojan adalah hari besar mereka.
2. Dua hari raya Islam lebih baik dan itu adalah ketentuan dari Allah k yang tidak bisa ditambah.
Kalau seandainya melakukan kegiatan ulang tahun itu tidak masalah dalam Islam, niscaya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam tidak akan melarang mereka, ini menunjukkan bahwa urusan ultah harus ada bimbingannya dalam sunnah.
Karena itulah As Syaikh Ali Hasan Al Lahaby dalam kitabnya ' Ahkamul Iedain ' halaman 14 menegaskan :
“Adapun di masa sekarang, maka hari-hari raya ini hampir tidak dapat dihitung di setiap negeri-negeri Islam apalagi negeri selain islam, engkau melihat adalah perayaan ultah untuk kubah-kubah, kuburan-kuburan, seseorang, Negara, dan lain sebagainya dari acara perayaan yang tidak diizinkan oleh Allah k, bahkan hal tersebut dalam sebagian konsensus bahwa Muslimin India mempunyai 144 perayaan dalam setahun”.


II. Sumbangan acara Agustusan

Biasanya dalam bulan Agustus para pamong desa meminta dana Agustusan di masyarakat untuk mensukseskan beragam agenda acara yang mereka buat, seringnya disebutkan minimalnya.
Bila kita memahami apa yang telah diuraikan di atas, maka kita akan tahu bahwa penarikan dana ini tidak sesuai syar'i dengan alasan sebagai berikut :
1. Termasuk membantu acara yang tidak ada bimibinganya dalam agama Islam. Allah berfirman :

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al Maidah 2).

2. Penarikan dana tersebut tidak berdasar pada sebuah Perda sedikitpun bahkan terkesan memaksa, terbukti mereka marah bila ada yang tidak menyumbang.
Ketahuilah! Semoga Allah k menambahkan umur kepada kita, bahwa harta seorang muslim adalah haram untuk diambil kecuali dengan izin dan kerelaannya, maka menarik pungutan tanpa dasar syar'i termasuk memakan harta orang lain dengan kebatilan. Allah k menyatakan :

"Dan janganlah sebahagian kalian memakan harta sebahagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada Hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian Mengetahui." (QS. Al Baqarah 188)
3. Uang tersebut dipergunakan untuk acara yang sia-sia, hanya bersenang-senang dan berfoya-foya. Walaupun ada sedikit unsur olah raga namun kemadlorotannya lebih banyak, di antaranya : Menghambur-hamburkan uang untuk perkara yang sia-sia, bercampurnya lelaki dan wanita, alunan musik yang bertalu-talu, keluarnya wanita dengan bersolek dan dandanan yang sengaja dipertunjukkan, adanya sikap fanatisme terhadap desanya masing-masing karena diperlombakan, tidak jarang terjadi tindakan anarkis antar anak desa, melalaikan sholat jama'ah pada waktunya, seringkali kita melihat mereka tidak mengubris panggilan adzan untuk menghadap Allah dan masih banyak lagi kerusakan yang lainnya.

Allah telah mengecam tindakan tabdzir (sia-sia) dan pelakunya tergolong saudara syaithon, FirmanNya :

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaihon dan syaithon itu adalah sangat ingkar kepada Robbnya." (QS. Al Israa' 26-27)

Dan ini adalah tindakan yang sangat dibenci oleh Allah , Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda :

إِنَّ الله َكَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا ... وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
"Sesungguhnya Allah k membenci tiag perkara dari kalian …. dan menyia-nyiakan harta." (HR. Muslim 1715)

Bagaimana mungkin kita bisa bergembira bila tindakan tadi dibenci dan dikecam oleh Allah? siapa yang mau digolongkan dengan saudara-saudara syaithon? Orang yang berakal sehat tentu akan menghindar dari hal-hal demikian.
Seharusnya kita berpikir jernih, bukankah dahulu para pejuang kita membebaskan bumi pertiwi ini dari kungkungan penjajah dengan tetesan darah dan air mata? Mengorbankan jiwa raga, harta benda, sabar dalam berjuang dan menanggung penderitaan demi penderitaan? Akankah kita generasi masa kini membalas budi bakti mereka dengan tindakan sia-sia, foya-foya, senang-senang yang dibenci oleh Allah kbergembira di atas penderitaan orang lain? Apakah kita tidak melihat bahwa bangsa ini sedang terjajah justru oleh anak-anak bangsa sendiri? Dapatkah hati kita lapang ketika di saat yang sama kita menyaksikan anak-anak bangsa dirundung duka dengan bencana yang menimpa mereka? Sekali lagi, akankah kita bisa tenang berbahagia di saat anak-anak bangsa sendiri menderita?

Coba kita pikirkan, kalau seadainya dana tersebut dikumpulkan, anggaplah satu desa bisa mengumpulkan satu juta, berapa ribu desa yang ada ditanah air dari Sabang sampai Merauke? Niscaya, akan terkumpul uang milyaran bahkan triliyunan rupiah, coba kalau uang itu dialokasikan ke anak bangsa yang dirundung musibah, tentunya akan sangat membantu dan menyenangkan hati mereka, pikirkanlah hal ini baik – baik wahai anak bangsa !!!.

III. Pemasangan bendera merah putih untuk hari-hari besar nasional terkhusus HUT RI.

Perlu dipahami, bahwa kita tidak mengingkari keberadaan bendera di sebuah Negara, karena hal itu ada pada masa Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam , demikian pula masalah warna bendera, pada dasarnya tidak mengapa selama tidak ada padanya hal-hal yang melanggar syar'i seperti gambar bernyawa, simbol-simbol khusus orang kafir dan sebagainya.
Di zaman Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam bendera Beliau ada yang berwarna putih adapula yang berwarna hitam, dari Ibnu Abbas Beliau berkata : "Dahulu bendera Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam berwarna hitam." (HR. Ahmad, Tirmidzi dengan sanad hasan.)
Dalam riwayat At Tirmidzi disebutkan "Bendera Beliau Shalallahu 'alaihi wa salam berwarna putih."
Dengan dasar ini, maka kami mengakui keberadaan bendera merah putih untuk negeri kita yang tercinta NKRI.
Namun, kita perlu menengok sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam dalam masalah bendera ini, apa fungsi dan kegunaannya?
Dalam banyak riwayat di sebutkan bahwa bendera ini difungsikan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam untuk berjihad fisabilillah melawan orang-orang kafir, orang yang menelaah sejarah beliau akan dapat memastikan hal ini, bahkan kalau kita melihat dalam sejarah, mereka (para shahabat) mempertahankan bendera itu sampai titik darah penghabisan, sedikitpun tidak membiarkan bendera itu jatuh ketanah walaupun harus mengorbankan jiwa raga mereka.
Berikut ini saya bawakan beberapa riwayat yang menjelaskan masalah ini.
Dari Sahl bin Sa'id a, bahwasanya Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam pada waktu perang khoibar bersabda :
َلأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّ الله َوَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ الله ُوَرَسُوْلُهُ يَفْتَحُ الله ُعَلَى يَدَيْهِ
"Sungguh besok aku akan berikan bendera ini kepada seorang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allahkdan rasul-Nya, Allahkakan menangkan melalui kedua tanganya" (muttafaq 'alaih)
Dalam lanjutan riwayat di atas disebutkan bahwa para Shahabat sampai begadang malam membicarakan, siapakah gerangan yang bakal diserahi bendera? Bahkan mereka semua berkeinginan untuk mendapatkannya, dan ternyata yang mendapatkannya adalah Ali bin Ali Tholib
Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa bendera tersebut untuk kepentingan Jihad Fisabilillah.
Juga dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Ja'far disebutkan, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam mengutus pasukan perang dan menunjuk Zaid bin Harits sebagai panglima, beliau bersabda :
"Bila Zaid terbunuh maka panglima kalian adalah Ja'far, bia dia terbunuh maka panglima kalian adalah Abdullah bin Rawahah."
Pasukan pun berhadapan dengan musuh, panglima Zaid pun memegang bendera, beliau berperang hingga terbunuh, kemudian bendera perang diambil oleh Ja'far, beliau berperang hingga terbunuh, kemudian bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah, beliau berperang hingga terbunuh, lalu bendera dipegang oleh Kholid bin Walid, maka Allah menangkan melalui tangannya. (lihat: ' Jami'us Shahih ' 3/246-247, karya Syaikh Muqbil dan beliau menshahihkan riwayat ini.)
Lihatlah! Bagaimana para panglima tadi mempertahankan bendera, tidak dia lepas sedikitpun hingga dia terbunuh.
Inilah fungsi bendera di masa itu, dan inilah yang kita baca dalam sejarah perjuangan NKRI, para pejuang-pejuang kita dengan gigihnya mempertahankan bendera merah putih sampai titik darah penghabisan, itu semua mereka lakukan untuk melawan kebringasan para penjajah kafir di masa itu, maka fungsikanlah bendera ini sebagaimana mestinya!!!
Adapun pemasangan bendera dalam rangka peringatan hari besar nasional, maka tidak pernah kita lihat dilakukan di zaman Rasulullah , karena tidak ada dalam bimbingan beliau peringatan-peringatan seperti itu sebagaimana yang kita uraikan dalam pembahasan sebelumnya.
وخير الهدي هدي محمد j
"Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam."

Demikianlah apa yang bisa kami tulis, sebenarnya masih banyak perkara yang tidak bisa ditaati karena adanya larangan dalam agama islam seperti PEMILU, dan lainnya, Insya' Allah bila ada kesempatan kami akan berusaha melanjutkannya. Semoga Allah k memberi hidayah kita semua ke jalan yang diridloiNya. Amin …..


Sidayu, 20 Agustus 2006

Penulis


Al Ustadz Muhammad Afifudin

Fatwa Ulama’ Sunnah tentang Demonstrasi & Mogok Makan

Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menetapkan bahwa seseorang tidak boleh memberontak kepada pemerintah, membangkang, durhaka, menyebarkan aibnya, baik lewat majalah, mimbar, pertemuan (majelis), dan lainnya, karena hal itu akan menimbulkan kerusakan; menyebabkan masyarakat tidak lagi segan, hormat, dan cinta kepada pimpinannya.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,


مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barang siapa yang melihat sesuatu ia benci dari pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar atasnya, karena barang siapa yang meninggalkan jama’ah dengan sejengkal, lalu ia mati, kecuali ia akan mati seperti matinya orang jahiliyyah”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (13/5), Muslim dalam Shohih-nya (3/1477), Ahmad dalam Al-Musnad (1/275), dan lainnya]

Hadits ini menjelaskan bahwa seorang tidak boleh durhaka kepada pemerintah, walaupun dalam perkara yang dianggap "sepele", karena yang sepele kadang jadi besar, parah, dan rawan. Berangkat dari hadits ini, para ulama kita mengharamkan demonstrasi, karena demo merupakan salah satu bentuk kedurhakaan, dan pembangkangan kepada pemerintah yang dilarang keras oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- . Karena banyaknya yang menyangka demo adalah perkara boleh, maka kami turunkan berikut ini fatwa-fatwa para ulama’ kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menjelaskan haramnya demonstrasi:


Fatwa Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz Ibn Baz-rahimahullah Ta’ala-


Beliau –rahimahullah– berkata, “Cara yang bagus merupakan sarana terbesar diterimanya kebenaran. Sedang cara yang keliru dan kasar merupakan sarana yang paling berbahaya ditolaknya dan tidak diterimanya kebenaran, atau bisa mengobarkan kekacauan, kezhaliman, permusuhan, dan saling menyerang. Dikategorikan dalam permasalahan ini apa yang dikerjakan oleh sebagian orang berupa demonstrasi yang menyebabkan keburukan yang banyak bagi para da’i. Maka berkonvoi di jalan-jalan dan berteriak bukanlah merupakan jalan untuk memperbaiki dan dakwah. Jadi, cara yang benar adalah dengan menziarahi (pemerintah), menyuratinya dengan cara yang bagus. Nasihatilah para pemimpin, pemerintah, dan kepala suku dengan metode seperti ini. Bukan dengan cara kekerasan dan demonstrasi. Nabi –Shollallahu alaihi wasallam- ketika tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau tidaklah pernah menggunakan demonstrasi dan berkonvoi, serta tidak mengancam orang lain untuk menghancurkan harta-bendanya, dan membunuh mereka. Tak ragu lagi, cara ini akan membahayakan dakwah dan para da’i, akan menghalangi tersebarnya dakwah, membuat para pemimpin teras memusuhinya dan melawannya dengan segala yang mungkin bisa dilakukannya. Mereka (para pelaku demo) menginginkan kebaikan dengan cara seperti tersebut, akan tetapi malah terjadi yang sebaliknya. Maka hendaknya seorang da’I ilallah menempuh jalannya para rasul dan pengikutnya, sekalipun memakan waktu yang panjang. Itu lebih utama dibandingkan perbuatan yang membahayakan dan mempersempit (ruang gerak) dakwah, atau dihabisi. Walaa haula walaa quwwata illa billah”. [Lihat Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi ke-38, (hal.310)]

Beliau -rahimahullah- pernah ditanya, “Apakah demonstrasi yang dilakukan oleh kaum pria dan wanita melawan pemerintah bisa dianggap termasuk sarana dakwah? Apakah orang yang meninggal di dalamnya dianggap mati syahid?”

Maka beliau –rahimahullah- memberikan jawaban: “Saya tidak memandang demonstrasi yang dilakukan para kaum hawa dan juga oleh kaum Adam sebagai suatu solusi . Akan tetapi itu merupakan sebab timbulnya fitnah (baca: musibah), keburukan, sebab dizholiminya sebagian orang, dan melampaui batas atas sebagian orang tanpa haq. Akan tetapi, cara-cara yang syar’i (menasihati pemerintah) adalah dengan cara menyurat, menasihatinya, dan mendakwahinya menuju kepada suatu kebaikan dengan cara damai. Demikianlah yang ditempuh paara ulama’. Demikianlah para sahabat Nabi-Shollallahu alaihi wasallam- dan para pengikut mereka dalam kebaikan.Cara mereka menasihati dengan menyurat dan berbicara langsung dengan orang yang bersalah, pemerintah, dan penguasa. Dengan cara menghubunginya, menasihatinya, dan menyuratinya, tanpa membeberkan aibnya di atas mimbar-mimbar dan tempat-tempat lainnya (dengan berteriak): “Pemerintah Fulan melakukan begini dan begini, lalu hasilnya begini dan begini !! ”, Wallahul Musta’an”. [ Simak Kaset : Muqtathofaat min Aqwaal Al-Ulama’ ]


Demonstrasi bukanlah uslub (cara) berdakwah yang benar. Bukan seperti yang dikatakan oleh seorang da’i hizbi, Safar Al-Hawaly. Dia berkata dalam kasetnya yang berjudul “Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah” (no.185), ”Sesungguhnya demonstrasi yang dilakukan oleh kaum wanita merupakan salah satu di antara uslub (cara) berdakwah dan memberikan pengaruh”.


Senada dengan ini, A’idh Al-Qorny berkata, “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh telah keluar di Al-Jaza’ir dalam satu hari 700.000 wanita muslimah yang berhijab menuntut ditegakkannya syari’at Allah”.



Adapun Salman bin Fahd Al-Audah, maka tak jauh beda dengan kedua temannya tadi. Dia berkata dalam kaset “Lin Nisaa’ Faqoth”, ”Sungguh kita telah mendengar di beberapa negara lain suatu berita yang menggembirakan adanya kembali (kesadaran) yang jujur-khususnya di kalangan pemudi- kepada Allah. Setiap orang dengar adanya demonstrasi lantang di al-Jaza’ir. Sedangkan pemimpinnya adalah sekelompok wanita. Jumlah mereka lebih dari ratusan ribu orang”.

Syaikh Abdul Malik Al-Jaza’iry - Hafizhahullah - berkata dalam mengkritik kekeliruan tiga orang di atas, “Demi Allah, Sesungguhnya urusan mereka ini benar-benar aneh! Tidaklah pernah dibayangkan kalau Jazirah Arab –setelah adanya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- akan melahirkan orang-orang semacam mereka!? Apakah setelah kehidupan yang dihiasi dengan menjaga kehormatan yang dijaga oleh kaum muslimin Jazirah, akan datang Safar, Salman, dan Al-Qorny ke hadapan para wanita untuk mengeluarkan mereka dari rumah kemuliaan mereka dengan memperbanyak jumlah dan kekuatan dengan para wanita!? Safar menjelaskan pengaruh yang dalam ketika keluarnya para wanita tsb untuk berdemo, sedang Al-Qorny menguatkannya dengan sumpah!! Sedang Salman membangkitkan semangat mereka agar tetap bersabar menghadapi tank-tank. Duh, Alangkah anehnya agamanya!”. [Lihat Madarik An-Nazhor (hal.419-420), cet. Dar Sabiil Al-Mu’minin.]


Apa yang dinyatakan oleh tiga orang ini jelas salah, karena menasihati pemerintah adalah dengan secara rahasia dan tersembunyi seperti menziarahinya, menyuratinya, menelponnya, atau menghubunginya lewat temannya,dan semacamnya, sebab inilah merupakan prinsip dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nabi-Shollallahu alaihi wasallam- bersabda:


مَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُمَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ


“Barang siapa yang ingin menasihati seorang penguasa, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangannya, dan berduan dengannya. Jika ia terima, maka itulah (yang diharap). Jika tidak, maka ia telah melaksanakan keawjiban atas dirinya ”.[HR.Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096). Syaikh Al-Albany -rahimahullah- berkata dalam Zhilal Al-Jannah (hal.514), “Sanadnya shohih”] .


Fauzy bin Abdillah Al-Atsary -hafizhahullah- berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemerintah dengan cara rahasia, bukan dengan cara terang-terangan, dan bukan pula membeberkan aibnya di atas mimbar-mimbar, pesta-pesta, masjid-masjid, koran-koran, majalah dan lainnya sebagai suatu nasihat”. [Lihat: Al-Ward Al-Maqthuf (hal.66)]




* Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin –rahimahullah-



Beliau –rahimahullah Ta’ala - ditanya: “Apakah Demonstrasi bisa dianggap sarana dakwah yang disyari’atkan?” Beliau menjawab, “Alhamdu lillahi Rabbil alamin wa shollallahu ala Sayyidina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam wa man tabi’ahum bi ihsan ilaa yaumiddin. Amma ba’du: Sesungguhnya demonstrasi merupakan perkara baru, tidaklah dikenal di zaman Nabi –shollallahu alaihi wasallam-, dan para sahabatnya –radhiyallahu anhum-. Kemudian di dalamnya terdapat kekacauan dan huru-hara yang menjadikannya perkara terlarang, dimana didalamnya terjadi pemecahan kaca-kaca, pintu-pintu, dan lainnya. Juga terjadi padanya ikhtilath (campur-baur) antara pria dan wanita, orang tua dan anak muda, dan sejenisnya diantara kerusakan dan kemungkaran. Adapun masalah tekanan atas pemerintah. Jika pemerintahnya muslim, maka cukuplah bagi mereka sebagai penasihat adalah Kitabullah Ta’ala, dan Sunnah Rasul –Shollallahu alaihi wasallam-. Ini adalah sesuatu terbaik disodorkan kepada seorang muslim. Jika pemerintahnya kafir, maka jelas mereka tak akan memperhatikan para peserta demonstrasi. Pemerintah tersebut akan “bermanis muka” di depan mereka, sementara itu hanyalah merupakan kejelekan yang tersembunyi di batin mereka. Karenanya, kami memandang bahwa demonstrasi merupakan perkara mungkar !!Adapun alasan mereka: “Demo inikan aman-aman saja”. Memang terkadang aman-aman saja di awalnya atau pertama kalinya, lalu kemudian berubah menjadikan perusakan. Aku nasihatkan kepada para pemuda agar mereka mau mengikuti jalannya Salaf. Karena Allah –Subhanahu wa Ta’ala- telah memuji para sahabat Muhajirin dan Anshor, serta juga orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan”. [Lihat Al-Jawab Al-Abhar(hal.75) karya Fu’ad Siroj]


Fatwa Fadhilah Asy-Syaikh Al-Allamah Sholeh bin Ghoshun-rahimahullah- Fadhilah Asy-Syaikh Al-Allamah Sholeh bin Ghoshun -rahimahullah- berkata,

“Jadi seorang da’I, orang yang memerintahkan kebaikan, dan melarang dari kemungkaran, wajiblah bagi dirinya untuk menghiasi dirinya dengan kesabaran, mengharapkan pahala dan ganjaran (di sisi Allah), menanggung segala sesuatu yang ia dengarkan atau terkadang ia dicemooh dalam dakwahnya. Adapun seorang da’I menempuh cara kekerasan, atau dia -wal’iyadzu billah- menempuh cara dengan menyakiti manusia, mengganggu orang, atau menempuh cara perselisihan dan pertengkaran, dan memecah belah kesatuan. Ini merupakan perkara-perkara setan. Dia adalah prinsip dakwah Khawarij. Inilah prinsip dakwah Khawarij !! Mereka itulah yang mengingkari kemungkaran dengan senjata, mengingkari sesuatu perkara-perkara yang mereka anggap tidak boleh dan menyelisihi keyakinan mereka dengan cara perang, menumpahkan darah, mengkafirkan orang, dan beberapa perkara lain. Maka bedakanlah antara dakwah para sahabat Nabi-Shollallahu alaihi wasallam- dan Salafush Sholeh dengan dakwah Khawarij dan orang yang menempuh manhaj (jalan hidup) mereka, dan menjalani jalan mereka. Dakwahnya para sahabat dengan cara hikmah, nasehat, menjelaskan kebenaran, dengan penuh kesabaran, dengan berhias kesabaran, dan mencari pahala dan ganjaran. Sedangkan dakwah Khawarij dengan cara membunuh manusia, menumpahkan darah mereka, mengkafirkan mereka, memecah-belah kesatuan, dan merobak-robek barisan kaum muslimin. Ini adalah perbuatan-perbuatan keji dan bid’ah. Sepantasnya orang-orang yang mengajak kepada perkara-perkara seperti ini dijauhkan dan dijauhi, diburuk-sangkai. Mereka itu telah memecah-belah kesatuan kaum muslimin. Padahal Persatuan itu merupakan rahmat,sedangkan perpecahan merupakan sengsara dan adzab-wal’iyaadzu billah-. Andai suatu penduduk negara di atas kebaikan, bersatu di atas satu kata, niscaya mereka akan memiliki kharisma dan wibawa. Akan tetapi penduduk negara kita sekarang sudah berkelompok-kelompok dan terkotak-kotak. Mereka telah sobek, berselisih, musuh dari kalangan mereka masuk ke tengah-tengah mereka, dari sebagian mereka atas sebagian yang lainnya. Ini merupakan cara bid’ah, dan keji. Merupakan jalan seperti yang telah berlalu keterangannya, datang dari orang-orang yang mau memecah-belah kesatuan, dan orang-orang yang telah membunuh Amirul Mukminin Ali-radhiyallahu anhu- dan orang-orang yang bersama beliau dari kalangan sahabat, peserta bai’at Ridhwan. Mereka telah membunuh beliau sedang mereka menginginkan “kebaikan”!! Sedang mereka itu adalah pemimpin kerusakan, pemimpin bid’ah,dan pemimpin perpecahan. Mereka itulah yang memecah-belah persatuan kaum muslimin, dan melemahkan barisan kaum muslimin. Demikian juga sampai orang-orang yang berpendapat bolehnya, mengadopsinya, dan menganggapnya baik. Maka orang seperti ini jelek aqidahnya, dan harus dijauhi.Aku tahu-wa’iyaadzu billah- bahwa ada seorang yang disiapkan untuk membahayakan ummatnya dan teman-teman majelisnya, serta orang-orang yang ada disekitarnya. Nasihat yang haq, hendaknya seorang muslim menjadi seorang bekerja, membangun, mengajak kepada kebaikan, dan mencari kebaikan sebenar-benarnya. Dia harus mengucapkan kebenaran, berdakwah dengan cara yang benar dan lembut, berbaik sangka terhadap saudaranya, serta mengetahui bahwa kesempurnaan merupakan sesuatu yang sulit diraih, bahwasanya yang ma’shum adalah Nabi-Shollallahu alaihi wasallam- , dan andaikan para pemerintah tsb hilang/pergi, maka tak akan datang orang yang lebih bagus dibandingkan mereka. Andaikan semua orang yang ada hilang/pergi-sama saja diantara mereka ada pemerintah, penanggung jawab, atau para penuntut, atau rakyat. Andaikan ini semuanya pergi/hilang-rakyat negara mana saja-, niscaya akan datang pemimpin yang lebih jelek darinya !! Karena tak akan datang suatu masa kecuali yang berikutnya lebih buruk. Jadi, orang yang menginginkan agar orang sampai pada derajat kesempurnaan, atau menjadi orang-orang yang ma’shum dari segala kesalahan dan kejelekan. Orang (yang berpemikiran) macam ini adalah orang sesat. Mereka ini adalah orang-orang Khawarij. Mereka inilah yang memecah-belah persatuan manusia dan menyakiti mereka. Ini merupakan tujuan orang-orang yang memusuhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan berbagai bid’ah dari kalangan orang Rofidhoh, Khawarij, Mu’tazilah, dan seluruh jenis pelaku kejelekan dan bid’ah”. [Lihat Majallah Safinah An-Najaah , edisi 2, Januari 1997 M.]


Inilah beberapa fatwa ulama’ besar di zaman ini. Semuanya sepakat mengharamkan demonstrasi, karena menimbulkan kerusakan dalam segala lini kehidupan, secara langsung atau tidak. Fakta yang ada di lapangan telah membuktikan bahwa demo menyebabkan banyak kerusakan. Intinya, demo adalah haram dalam Islam, baik demonya dalam bentuk damai tak menimbulkan kerusuhan saat demo, apalagi yang disertai kekasaran, dan sesuatu yang memancing emosi, serta merendahkan wibawa pemerintah.


Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 26 Tahun I.