Senin, 12 Juli 2010

HUKUM ORAL SEKS

Hubungan seksual antara pasangan suami istri bukanlah hal
yang terlarang untuk dibicarakan didalam islam namun bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.

Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini adalah kebutuhan setiap manusia, sebagaimana firman Allah ,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)

Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.

syariat selain merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi Allah  sebagaimana sabda Rasulullah SHALLALLOHU'ALAIHI WA SALLAM,”..dan bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)


Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam mulutnya.


Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya Shallallohu'alaihi wa sallam dan beliau tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650)


Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama , karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 - 159, Maktabah Syamilah)


Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari
tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)


Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.


Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan
Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam.” (HR. Ibnu Majah) dalam lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam dan beliau tidak memperlihatkannya kepadaku.”


Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)


Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR Ali Al Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih
Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.



Meskipun banyak seksolog yang menempatkan oral seks ini kedalam kategori permainan seks yang aman berbeda dengan anal seks selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit manakala tidak ekstra hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar.


Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani
adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.

memang tidak ada nash yang sharih (jelas) yang secara eksplisit melarangnya. Maka umumnya pendapat ahli zhahir membolehkannya karena memang tidak ditemukan sebuah nash pun yang melarangnya.

Ada juga yang berhujjah dengan pengertian 'harts' yang berarti ladang dalam menafsirkan ayat yang berbunyi



(istri-istrimu adalah ladangmu, maka datangilah ladangmu itu dari mana saja kamu inginkan. (QS. Al-Baqarah : 223).

Jadi bila mengacu pada pendapat ini, apapun style yang dilakukan boleh-boleh saja karena istrimu adalah ladangmu sendiri. Karena itu mereka mengkategorikannya sebagai bagian dari foreplay (muda`abah) dalam hubungan suami istri.

Oral seks di temukan dalam masyarakat India Kuno dan Romawi Kuno. Pada Kuil Khajuraho di India, terpahat ukiran-ukiran variasi posisi hubungan seks, termasuk oral seks. Demikian pula pada lukisan-lukisan di Pompeii (sebuah kota di masa Romawi Kuno, dekat Naples), tergambar variasi posisi hubungan seks, termasuk oral seks. Orang seks saya temukan dalam film-film porno yang diproduksi dan diedarkan oleh masyarakat liberal baik yang berkulit putih, hitam, maupun kuning. Di film-film itu, oral seks dilakukan oleh pasangan laki-laki dan wanita, juga oleh pasangan laki-laki dengan laki-laki.

Dari sini dapat di ambil kesimpulan bahwa oral seks tidak dilakukan oleh masyarakat Islam di masa Nabi Shallallohu'alaihi wa sallam, tetapi dilakukan oleh masyarakat-masyarakat bukan Islam, baik masyarakat penyembah dewa-dewa sebelum Islam datang maupun masyarakat liberal di masa kini.

Sehingga perilaku oral seks ini terkategori perilaku yang bukan dari peradaban Islam. Dan Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam mencela kaum muslimin yang menyerupai perilaku bangsa-bangsa selain bangsa Islam (qaum muslimin) dalam sabda beliau:


“Bukanlah termasuk (golongan) kami yaitu orang yang bertasyabuh (menyerupai) selain kami.” (HR. Tirmidzi)

Islam mencukupkan tempat masuknya kemaluan suami hanya pada vagina istri, bukan dubur istri, juga bukan mulut istri.

Pertama, karena mulut istri bukanlah jalan masuk sperma suami hingga bisa membuahi ovum istri. Sperma yang masuk mulut istri tidak akan pernah bertemu ovum istri. Sementara tujuan utama suami “bercocok tanam” (menyetubuhi istri) adalah untuk mendapatkan “buah” (anak).

Allah  berfirman:

Artinya:

”Isteri-istrimu itu laksana tanah tempat bercocok tanam maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu (dengan cara) bagaimana saja kamu kehendaki…” (QS. Al-Baqarah: 223)

Kedua, mulut istri bukanlah tempat yang diperintahkan Allah kepada suami untuk memasukkan kemaluannya.

Artinya:

”Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)

Rasulullah Shallallohu'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tempat suami mencampuri istrinya adalah vagina istri, bukan yang lain.


Artinya:

Dari Ummu Salamah dari Nabi saw tentang firman Allah: “Istri-istrimu itu laksana tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu (dengan cara) bagaimana saja kamu kehendaki”, yakni pada vagina yang satu (itu).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dan Tirmidzi berkata: hadits ini Hasan)

Sebenarnya gairah seks suami lebih mudah terbangkitkan daripada gairah seks istri. Bagi wanita perlu waktu dan perlakuan tertentu agar gairah seksnya bangkit hingga vaginanya cukup terlumasi dan siap menerima penetrasi penis suaminya. Sedangkan bagi laki-laki, dengan mencium aroma wangi tubuh sang istri, melihat kemolekan tubuhnya, meraba bagian-bagian tubuhnya sudah sangat cukup untuk membangkitkan gairah seksnya. Tanda yang nampak adalah tegaknya penis sang suami. Dengan kata lain, istri tidak perlu melakukan oral seks untuk merangsang suami. Dan dalam faktanya, oral seks bukanlah cara untuk membangkitkan gairah seks suami, tetapi agar suami mencapai orgasme dan keluar sperma.

Adapun bagi suami yang impoten atau sejenisnya, memang ada teknik-teknik tertentu yang perlu dilakukan istri untuk merangsang suami, termasuk meraba, mengelus, dan memegang bagian-bagian penis suami dan sekitarnya. Namun jika penis suami telah ereksi, bukan dimasukkan ke mulut istri (oral seks), tetapi dimasukkan ke vagina istri. Terapi ini adalah bentuk pertolongan istri kepada suaminya.


Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah
Ahmad bin Yahya An-Najmi berpendapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.

Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).

FATWA MUFTI SAUDI ARABIA BAGIAN SELATAN 

Apa hukum oral seks?

Jawab:
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullah menjawab sebagai berikut,

"Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memencar. Kalau memencar maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama'). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya.

Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut --sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-."

Dan dalam kitab Masa`il Nisa'iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza'ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai berikut:

"Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?"
Beliau menjawab:

"Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti
tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim --dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan."

Dan salah seorang ulama besar kota Madinah, Asy-Syaikh AI-`Allamah `Ubaid bin 'Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah dalam sebuah rekaman, beliau ditanya sebagai berikut,

"Apa hukum oral seks'?" Beliau menjawab:

"Ini adalah haram, karena is termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah lagi ganjil menurut syari'at, akal dan fitrah seperti ini. Hal tersebut karena ia menghabiskan waktunya untuk mengikuti rangkaian film-film porno melalui video atau televisi yang rusak. Seorang lelaki muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan ia berhubungan dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia berhubungan dengannya selain dari tempat yang Allah halalkan baginya maka tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alahi wa sallam."

Dikutip dari majalah An-Nashihah Volume 10 1427H/2006M

Apakah hukumnya jika suami atau istri terminum sperma salah satunya?

Jawab: Kalau memang hal itu terjadi secara tidak disengaja, maka insya Allah tidak mengapa.

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami karena kami lupa atau tersalah (tidak sengaja).”

Kalau hal itu disengaja dan terjadinya melalui oral sex (istri menghisap penis suaminya), maka jawabannya adalah sebagaimana penjelasan diatas yaitu HARAM.


Di Balik Makar Khawarij dan Syi’ah, Merunut Aksi-aksi Jahat Yahudi



“Nenek moyang” Mossad (badan intelijen Yahudi) sesungguhnya sudah ada sejak zaman sahabat. Melalui provokasi agen Yahudi bernama Abdullah bin Saba`, lahirlah demonstrasi pertama dalam Islam berikut aksi teror yang berujung dengan wafatnya Khalifah ‘Utsman radhiyallahu 'anhu. Maka siapa pun yang menumbuhsuburkan demonstrasi menentang pemerintah Islam dan aksi-aksi terorisme, selain menebar fitnah atas kaum muslimin, ia juga tengah mempraktikkan cara-cara Yahudi dalam mengoyak persatuan umat.

Dalam lintasan sejarah, nama Abdullah bin Saba` sudah tak begitu asing didengar telinga kaum muslimin. Kiprahnya dalam tubuh umat ini telah menjadi bagian kelam sejarah umat Islam. Aksi-aksinya yang sedemikian jijik dan kotor telah menjerembabkan sebagian umat ke jurang kenistaan.

Abdullah bin Saba` adalah seorang Yahudi penduduk Shana’a, Yaman. Ibunya bernama Sauda` sehingga sering dia disebut dengan Ibnu Sauda`. Secara lahiriah, di hadapan kaum muslimin, dia menampilkan diri sebagai seorang yang bersosok keislaman. Namun senyatanya, apa yang meluncur dari lisan dan perbuatannya tak lebih dari seonggok kebid'ahan. (Lihat Taudhihu An-Naba` ‘an Mu`assis Asy-Syi’ah Abdillah bin Saba` baina Aqlam Ahli As-Sunnah wa Asy-Syi'ah wa Ghairihim, Abil Hasan Ali bin Ahmad bin Hasan Ar-Razihi, hal. 37)

Terjadinya gerakan demonstrasi besar-besaran dalam sejarah Islam, tiada lain didalangi Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang menyimpan bara dendam terhadap kaum muslimin. Apa yang telah dilakukannya lantas menyuburkan pemahaman Khawarij pada sebagian kaum muslimin di masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Melalui aksi provokasinya, sebagian umat terpancing untuk melakukan aksi demonstrasi menentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu yang berakhir dengan terbunuhnya beliau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab dalam Mukhtashar Sirah Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 218) menyebutkan, pada tahun ke-35 H, sebagian penduduk Mesir dan yang sepaham dengan mereka, melakukan gerakan menentang terhadap pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Adapun sumber fitnah dari semua itu adalah Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi dari Shana’a. Secara zhahir dia menampakkan keislaman, namun dalam dirinya tersembunyi api dendam dan kekufuran. Hidupnya senantiasa berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya dalam upaya menyebarkan dan menyusupkan pemahaman-pemahaman sesatnya, sehingga menyesatkan sebagian kaum muslimin. Dia selalu berpindah dari Hijaz, Bashrah, Kufah, dan Syam.

Ketika dia tak berhasil dengan apa yang menjadi tergetnya di negeri-negeri tersebut, lantas Abdullah bin Saba` hengkang menuju Mesir. Di negeri inilah dia bisa menyemai pemahaman-pemahaman sesatnya dan berhasil mengelabui sebagian umat sehingga terprovokasi. Ibnu Sauda` lantas melakukan gerakan propaganda anti ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Masyarakat dihasut agar menentang pemerintah. Fitnah dan api kebencian terhadap pemerintah disebar. Mendorong umat untuk menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga terjadilah musibah besar dengan pengepungan terhadap ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Akhir dari peristiwa pengepungan tersebut, adalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu kala membaca Al-Qur`an. Semua ini dilakukan oleh kalangan Khawarij yang dipicu pemikiran dan aksi jahat sang Yahudi, Abdullah bin Saba`.

Inilah aksi terorisme terjahat yang dilakukan kelompok Khawarij pada kurun keemasan Islam. Aksi terorisme yang mereka lakukan didalangi seorang agen Yahudi berwajah Islam. Kelihaian agen Yahudi satu ini dalam melakukan infiltrasi ke dalam tubuh umat, menjadikan sebagian kaum muslimin terseret pada tindakan-tindakan terorisme menjijikkan.

Berawal dari sinilah pintu-pintu fitnah terbuka luas. Kaum muslimin diselimuti kabut kelam. Api fitnah tak kunjung memadam, terlebih manuver Abdullah bin Saba` senantiasa meruyak di tubuh umat. Yahudi asal Shana’a ini terus meniupkan racunnya ke dalam tubuh kaum muslimin. Satu di antara sekian banyak racun yang telah ditebar di tubuh umat, yaitu membangkitkan fanatisme buta terhadap keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Lalu bergulir menjadi sebuah aqidah (keyakinan) di kalangan Saba`iyah (para pengikut Abdullah bin Saba`), bahwa keimamahan yang pertama dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan berakhir pada Muhammad bin Al-Husain Al-Mahdi. Inilah keyakinan di kalangan Syi’ah yang merupakan keyakinan sesat. Kalangan Syiah meyakini hal itu sebagai bentuk aqidatu ar-raj’ah. (‘Aqa`idu Asy-Syi’ah, Asy-Syaikh Mahmud Abdulhamid Al-’Asqalani, hal 21)

Keyakinan terhadap keimamahan ini lahir dari bentuk dendam kesumat Abdullah bin Saba` terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dendam ini hingga kini terus ditumbuhsuburkan oleh para pengikutnya dari kalangan Syi’ah Rafidhah. Karenanya, adalah sebuah kedustaan bila orang-orang Syi’ah dewasa ini bisa mengambil sikap permusuhan yang keras terhadap Yahudi. Bagaimana pun Syi’ah dan pemahamannya tidak akan bisa dilepaskan dari Yahudi. Becerminlah dari sejarah, wahai orang-orang yang berakal. Wallahu a’lam.

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=487