Minggu, 11 Juli 2010

SYI'AH II

SYI’AH DAN TAQIYYAH

Seseorang belumlah dikatakan mengenal hakekat Syi’ah Rafidhah dengan sebenar-benarnya bila belum mengetahui hakekat taqiyyah disisi mereka. Padahal dengan taqiyyah inilah, mereka berhasil mengelabui sekian banyak kaum muslimin. Sehingga janganlah kita tercengang kalau mendengar atau membaca sedemikian ragam tanggapan positif sebagian kaum muslimin terhadap mereka seperti: Para penganut Syi’ah Rafidhah merupakan bagian dari kaum muslimin, Negara Iran yang resmi berazazkan aqidah Syi’ah Ja’fariyah (bagian dari sekte Syi’ah Rafidhah) adalah negara Islam, Khomeini merupakan tokoh revolusi Islam Iran, gagasan untuk diadakan taqrib (persatuan pandangan) antara Syi’ah dan Sunni (Ahlus Sunnah), anggapan bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang menyatakan bahwa para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah kafir, Al Qur’an telah mengalami perubahan hanyalah sekedar tuduhan Ahlus Sunnah semata.

DEFINISI TAQIYYAH

Taqiyyah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Menyembunyikan dan menjaga. (Lisanul Arab 15/401 dan Al Qamus Al Muhith hal. 1731)
Sedangkan secara terminologi syariat, taqiyyah memiliki arti: Menyembunyikan keimanan karena tidak mampu menampakkannya ditengah-tengah orang kafir dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan mereka. (Disarikan dari Atsarut Tasyayyu’ hal 33 - 34)

TAQIYYAH MENURUT TINJAUAN SYARIAT ISLAM

Islam sebagai agama yang sempurna dan penuh rahmat telah mengatur hubungan penganutnya dengan orang-orang kafir yang zhalim dan menguasai kehidupan keagamaan kaum muslimin. Pada saat yang sama, Islam juga sangat memperhatikan kelangsungan hidup para pemeluknya. Dalam rangka mencapai dua keadaan itu, Islam memberikan salah satu solusi kepada umatnya berupa taqiyyah berdasarkan bimbingan dalil-dalil syar’i. Di dalam dalil–dalil tersebut terdapat kriteria-kriteria yang membolehkan seorang muslim melakukan taqiyyah.

Kriteria-kriteria tersebut adalah:

1. Dia tidak mampu melakukan hijrah syar’i dari negeri orang kafir yang dia tinggal di dalamnya, karena alasan (udzur) yang syar’i pula. (An Nisaa’: 97-98)
2. Taqiyyah dilakukan dihadapan orang-orang kafir. (Ali Imran: 28)
3. Taqiyyah ditempuh karena dia benar-benar dalam keadaan dipaksa untuk mengucapkan atau mengerjakan kekufuran. (An Nahl: 106)
4. Bersamaan itu, dia benar-benar merasa ketakutan dari kejahatan orang-orang kafir. (Ali Imran: 28)
5. Walaupun demikian, hatinya tetap tenang dan kokoh diatas keimanan. (An Nahl: 106)

TAQIYYAH MENURUT TINJAUAN SYI’AH RAFIDHAH

Atas dasar riwayat-riwayat batil yang ada pada mereka, maka dapat dipastikan bahwa mereka telah berbuat 3 kesalahan fatal:

A. Definisi Taqiyyah Yang Bertentangan Dengan Definisi Taqiyyah Secara Syar’i
Di dalam Al Kasykul 1/202 karya Yusuf Al Bahrani mengatakan: “ Yang dimaksud dengan taqiyyah adalah menampakkan kesamaan dengan keyakinan agama orang-orang yang menyelisihi mereka karena adanya rasa takut.”
Al Kulaini meriwayatkan -dengan dusta- dari Abu Ja’far, beliau berkata: “Berkumpullah dengan mereka (orang-orang yang menyelisihi Syi’ah Rafidhah -red) secara dhahir namun selisihilah mereka secara batin”.
Al Khomeini di dalam Kasyful Asrar hal. 147 mendefinisikan makna taqiyyah: “Seseorang yang mengucapkan atau mengamalkan sesuatu, berbeda dengan kenyataan (hatinya) yang membatalkan timbangan-timbangan syariat …”.

Tampak dari ucapan-ucapan mereka bahwa definisi taqiyyah menurut Syi’ah Rafidhah:
1. Tidak membedakan apakah taqiyyah mereka amalkan dihadapan kaum muslimin atau orang-orang kafir. Lalu apa bedanya mereka dengan orang-orang munafik di jaman Rasulullah ? ?!.
2. Apa yang mereka sembunyikan bukanlah keimanan namun justru kekufuran tatkala berkumpul dengan kaum muslimin.
3. Taqiyyah mereka tidak memperhatikan timbangan-timbangan atau kriteria-kriteria syar’i.

B. Kedudukan Dan Keutamaan Taqiyyah Yang Berlebihan Menurut Syi’ah Rafidhah

1. Taqiyyah adalah pokok agama mereka.

Al Kulaini di dalam Al Kafi 2/174 menukilkan –dengan dusta- ucapan Abu Ja’far: “Taqiyyah merupakan agamaku dan agama para pendahuluku. Tidak ada keimanan bagi seseorang yang tidak bertaqiyyah”. Dalam riwayat lain -dengan dusta- dari Abu Abdillah: “Tidak ada agama bagi seorang yang tidak bertaqiyyah”.


2. Taqiyyah adalah kemuliaan agama seseorang.

Al Kulaini di dalam Al Kafi 2/176 meriwayatkan –dengan dusta- ucapan Abu Abdillah kepada Sulaiman bin Khalid: “Wahai Sulaiman, sesungguhnya engkau diatas agama yang apabila seseorang menyembunyikannya (bertaqiyyah), maka Allah akan muliakan dia. Barangsiapa menampakkannya maka Allah akan hinakan dia”.

3. Taqiyyah merupakan sebuah ibadah yang paling dicintai Allah
Abu Abdillah mengatakan di dalam Al Kafi 2/219 karya Al Kulaini –dengan dusta- : “Tidaklah Allah diibadahi dengan suatu amalan yang lebih Dia cintai daripada Al Khab’u. Aku (periwayat) bertanya: “Apa itu Al Khab’u ? Beliau menjawab: “Taqiyyah”.

4. Taqiyyah merupakan seutama-utama amalan hamba.
Di dalam Tafsirul Askari hal. 163 dinukilkan -dengan dusta- bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Taqiyyah merupakan salah satu amalan mukmin yang paling utama. Dia menjaga diri dan saudaranya dengan taqiyyah dari orang-orang jahat (kaum muslimin ).

5. Taqiyyah merupakan semulia-mulia akhlak.
Dari Al Baqir, dia berkata: “Semulia-mulia akhlak para imam dan orang-orang mulia dari kelompok kami adalah taqiyyah”. (Al Ushul Ashliyah hal. 320 karya Abdullah Syabbar) 6. Hukum taqiyyah setingkat tauhid dan shalat wajib

Al Qummi di dalam Al I’tiqadaat mengatakan: “Taqiyyah hukumnya wajib. Barangsiapa meninggalkannya maka kedudukannya seperti meninggalkan shalat wajib.”
Dia meriwayatkan didalam kitab tersebut dari Ali bin Hasan –dengan dusta– beliau berkata: “Allah mengampuni seluruh dosa seorang mukmin dan mensucikannya di dunia dan akhirat kecuali 2 dosa: meninggalkan taqiyyah dan meninggalkan hak-hak saudaranya (saudara sesama Syi’ah Rafidhah –red).”

7. Mereka membatasi kewajiban bertaqiyyah sampai munculnya Imam Mahdi
Al Qummi di dalam Al I’tiqadaat juga mengatakan: “Taqiyyah hukumnya wajib. Tidak boleh menghapus kewajiban itu sampai muculnya Imam Mahdi…”.

C. Munculnya Amalan-Amalan Kemunkaran Sebagai Realisasi Pandangan Sesat Mereka Terhadap Taqiyyah

1. Pengkafiran kaum muslimin yang tidak melakukan taqiyyah ala Syi’ah Rafidhah
Al Qummi di dalam Al I’tiqadaat ketika menyebutkan tentang kewajiban taqiyyah, mengatakan: “… Barangsiapa meninggalkan (taqiyyah) sebelum munculnya Imam Mahdi maka dia telah keluar dari agama Allah, agama Imamiyyah dan menyelisihi Allah, Rasul serta para imam mereka.”

2. Pembolehan untuk melakukan taqiyyah didalam segala keadaan walaupun dalam keadaan tidak terpaksa
Ath Thusi meriwayatkan –dengan dusta– di dalam Al Amaali hal. 229 dari Ash Shadiq, beliau berkata: “Bukanlah dari golongan kami, seseorang yang tidak menjadikan taqiyyah sebagai syiar dan bajunya walaupun ditengah orang-orang yang dia percayai. Hal itu tetap dia lakukan agar selalu menjadi tabiatnya ketika ditengah orang-orang yang mengancamnya.”

3. Ibadah yang diiringi dengan taqiyyah memiliki keutamaan besar
Ash Shaduq di dalam Man Laa Yahdhuruhul Faqih 1/266 meriwayatkan –dengan dusta– dari Abu Abdillah, berkata: “Tidaklah salah seorang diantara kalian menunaikan shalat wajib sesuai waktunya lalu shalat lagi dengan taqiyyah bersama mereka (kaum muslimin) dalam keadaan berwudlu’ kecuali Allah tulis (keutamaan) baginya sebesar 25 derajat. Oleh karena itu berharaplah kalian untuk mendapatkannya.”

4. Riwayat-riwayat para imam mereka yang bertolak belakang dengan aqidah mereka dianggap sebagai taqiyyah (diringkas dari Firaqusy Syi’ah hal. 85-87 karya An Naubakhti)

5. Penafsiran yang batil terhadap ayat-ayat Allah
? Surat Fushshilat: 34, yang artinya: “Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejelekan. Balaslah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik.” Abu Abdillah berkata: “Kebaikan itu adalah taqiyyah, sedangkan kejelekan itu adalah terang-terangan di dalam beragama.” (Al Kafi 2/173 karya Al Kulaini)
Sedangkan ‘cara yang lebih baik’ itu adalah taqiyyah. (Al Kafi hal. 482 karya Al Kulaini)
? Surat Al Hujurat: 13, yang artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling taqwa.”
Ash Shadiq berkata: “Yaitu orang-orang yang paling mengetahui tentang taqiyyah.” (Al I’tiqadaat karya Al Qummi)

AQIDAH TAQIYYAH MERUPAKAN CIRI KHAS SYI’AH RAFIDHAH

Didalam Al I’tiqadaat karya Al Qummi diriwayatkan –dengan dusta– dari Ali bin Husain, beliau berkata: “Kalau seandainya tidak ada taqiyyah maka wali-wali kami tidak akan dikenal diantara musuh-musuh kami.”

HAKEKAT TAQIYYAH SYI’AH RAFIDHAH SAMA DENGAN KEMUNAFIKAN

Sangat tepat untuk dinyatakan bahwa hakekat taqiyyah mereka tidaklah beda dengan kemunafikan di masa kenabian Rasul ?. Padahal Allah ? banyak memperingatkan sifat-sifat mereka (kaum munafik) di dalam kitab-Nya, diantaranya:

“Dan jika mereka (kaum munafik) bertemu dengan orang-orang beriman mereka berkata: ‘Kami beriman.’ Namun bila mereka bertemu dengan para syaithan, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami bersama kalian. Kami hanyalah mengejek mereka (kaum muslimin).” (Al Baqarah: 14)

Allah juga berfirman yang artinya: “Mereka (orang-orang munafik) mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di hatinya.” (Al Fath: 11)

Rasulullah ? mengingatkan tentang keadaan mereka:

“Dan kalian akan dapati sejelek-jelek manusia adalah yang bermuka dua, yaitu dia mendatangi suatu kaum dengan satu wajah dan mendatangi kaum yang lain dengan wajah yang lain pula.” (Muttafaqun ‘alaihi)

AHLI BAIT BERLEPAS DIRI DARI TAQIYYAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam Minhajus Sunnah 2/46 menyebutkan bahwa Allah membersihkan kaum mukminin dari kalangan Ahli Bait dari perbuatan taqiyyah. Bahkan mereka merupakan manusia paling jujur dalam keimanan. Agama mereka adalah ketaqwaan dan bukan taqiyyah.


SYI’AH DAN MUT’AH

Jika kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat mereka. Bagaimana tidak, perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu nikah mut’ah. Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang benar-benar diharamkan Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah Rafidhah.

DEFINISI NIKAH MUT’AH

Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)

HUKUM NIKAH MUT’AH

Pada awal tegaknya agama Islam, nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah ? di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah ? dan Salamah bin Al- Akwa’ ?:

“Bahwa Rasulullah ? pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)

Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)

Dan beliau ? bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ? telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr ? dan Umar ?, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An- Nawawi)

GAMBARAN NIKAH MUT’AH DI JAMAN RASULULLAH ?

Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi ?, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat ?.

Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tesebut (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya (HR. Muslim no. 1406)

NIKAH MUT’AH MENURUT TINJAUAN SYI’AH RAFIDHAH

Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:

A. Penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya

Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”
Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala ?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya”.
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi ?, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali ?, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”

B. Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah

1. Akad nikah

Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)

2. Tanpa disertai wali si wanita

Sebagaimana Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam 7/254)

3. Tanpa disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)

4. Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
? wanita Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)
? wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i’il Islam hal. 184)
? wanita pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
? wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
? wanita sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
? wanita yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
? istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
? wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
? sesama pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)

5. Batas usia wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)

6. Jumlah wanita yang dimut’ah

Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan seorang pria menikahi walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)

7. Nilai upah

Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/457 dan Tahdzibul Ahkam 7/260)

8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?

Diijinkan bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berapa kali dia kehendaki. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)

9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?

Kaum Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:

A. Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!!!

B. Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)

10. Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut’ah. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-38)

11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 44)

12. Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran. Bahkan, dimasa Al-‘Allamah Al-Alusi ada pasar mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya (germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)

ALI BIN ABI THALIB ? MENENTANG NIKAH MUT’AH

Para pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ? -yang diklaim oleh kaum Syi’ah Rafidhah sebagai imam mereka- bahwa beliau menentang nikah mut’ah. Beliau ? mengatakan: “Sesungguhnya Nabi ? telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.” Beliau (Ali ?) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.
Wallahu A’lam Bish Showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar